‘Kopi Kultur’, Kedai Kopi Revolusioner di Bali


Oleh : Win Wan Nur
Rai bersama Perdu Coffee (Ist)
Tadi pagi saya membaca twit dari JRX “Superman is Dead” bunyinya JRX @JRX_SID 18h Kedai revolusioner @kopikultur mulai besok pindah lokasi ke Little Tree Building, Sunset Road Kuta. Yuk lapor polisi!
Twit ini langsung saya jawab, wah ini kantor saya. Kopi Kultur ngambil ruangan mana?, lantai satu atau lantai dua?
Dan ketika saya sampai di kantor, saya dapati ternyata Kopikultur yang disebut oleh JRX, drummer SID ini sebagai kedai kopi revolusioner ternyata berada tepat di depan pintu kantor saya. Tapi saya masih belum mengerti kenapa oleh JRX, warung kopi ini disebut Revolusioner. (tentang kedai kopi ini bisa dilihat diwww.kopikultur.com)
Jawabannya saya dapatkan saat istirahat makan siang.
Waktu istirahat siang, saya bergabung dengan mereka yang sedang sibuk beres-beres karena baru pindah.
Saya berkenalan dengan Rai salah seorang staff di Kopi Kultur. Dari Rai saya mendapat sedikit gambaran, kenapa Kopi Kultur disebut oleh JRX sebagai kedai Kopi revolusioner.
Sebab, menurut Rai, ternyata memang Kopi Kultur bukan hanya sekedar warung kopi biasa. Tapi warung kopi ini dibuat untuk mendidik konsumen untuk mengenal “The Right Coffee”, kita nggak bisa bilang kopi paling enak, karena ini tergantung selera katanya. Kopi yang benar menurut Rai adalah kopi yang sebenarnya, bukan kopi sachet, kopi yang dicampur dengan jagung atau pinang. Tapi Kopi yang benar, adalah kopi yang benar-benar telah mendapat perlakuan yang benar sejak saat penanaman sampai ke roasting dan penyajian.
Saya berbincang banyak dengan Rai dan saya dapati ternyata dia benar-benar ahli di bidangnya. Menurut Rai, ide awal mendirikan Kopi Kultur ini adalah untuk mengubah pola tata niaga Kopi di daerah asalnya di Kintamani. Awalnya, menurut Rai, petani Kopi di daerahnya sepenuhnya menjual kopi-nya dalam bentuk mentah. Dan petani di sana selalu tertekan oleh fluktuasi harga kopi yang mengikuti harga pasaran dunia.
Melihat fenomena itu, Rai mulai mencoba mendidik petani di daerahnya untuk mengusahakan Kopi dengan benar dalam pengertian mulai dari penanaman, pemetikan, pengolahan sampai menjadi biji. Karena seperti itulah seharusnya kopi diperlakukan. Selanjutnya, sejak roasting sampai penyajian itu sudah bukan menjadi bagian dari petani. Sampai di sini sudah urusan selera, kita tidak bisa mengatakan kopi ini lebih enak dan kopi itu kuran enak. Itu murni soal selera. Tapi bagaimana menghasilkan kopi bermutu, sejak dari penanaman hingga menjadi biji kopi kering. Itulah yang harus kita lakukan sebagai petani. Begitu kata Rai.
Menurut Rai, tidak mudah melakukan itu. Dia memulai usaha mendidik warga ini sejak 15 tahun yang lalu. Dan sekarang, petani di daerah binaannya sudah sangat mengerti bagaimana cara menghasilkan biji kopi yang baik. Sekarang, menurut pengakuan Rai, tiap hektar kebun kopi milik petani binaannya yang dikelola dengan pola tanam organik bisa menghasilkan 4 ton biji kopi dengan kadar air 12% setahun. Berdasarkan pengalaman saya di Gayo, yang tiap hektar kopi bisa menghasilkan 800 KG saja sudah luar biasa, angka yang disebut Rai ini adalah angka yang sangat spektakuler. Jujur saya sampai sekarang masih berpikir kalau Rai salah menyebutkan angka.
Tapi yang sangat menarik dari apa yang dikatakan Rai adalah, sekarang dari 40 Subak Abian (kelompok tani tanah kering) yang dia bina. Mereka sudah tidak tergantung lagi pada harga pasar kopi dunia. Karena hasil kopi mereka sepenuhnya dijual secara lokal dengan harga jauh di atas harga pasaran dunia.
Saat saya memperkenalkan diri berasal dari Gayo, Rai langsung dia sambut dengan pertanyaan wah berarti punya Kopi Gayo dong. Ditanya begitu, saya masuk ke ruang kantor saya di mana saya masih menyimpan satu bungkus “Perdu Coffee”, bubuk kopi yang dibuat dari kopi luwak liar dari perkebunan dengan ketinggian di atas 1500 Mdpl. Saya meminta Rai untuk mencicipinya.
Dan apa komentar pertama Rai, ketika mencicipi kopi luwak Gayo ini? “Ini dipungutnya berapa lama setelah kopi dimakan oleh Luwak?”. Saya jawab, tidak tentu, karena kopi ini dipungut oleh masyarakat sekitar yang kita kerahkan untuk mengumpulkannya. Ada yang sudah dua hari, ada yang lebih ada yang baru.
“Ya pantas sebab di sini ada biji kopi yang sudah agak lama dan sudah tercemar jamur”, kata Rai.
Kemudian Rai menjelaskan bagaimana dia mengelola Kopi Luwak di daerah binaannya. Rai, sangat menentang produksi kopi Luwak dengan menggunakan Luwak yang dikurung di kandang. Karena berdasarkan riset yang dia buat, kopi Luwak yang dihasilkan dari Luwak yang dikandangkan, rasanya tidak lagi seistimewa rasa kopi luwak liar. Sebab, luwak yang dikandangkan komposisi kimia tumbuhnya sudah tidak sama lagi dengan komposisi kimia tubuh luwak liar. kadar kalsium tubuh luwak di kandang sudah berbeda dengan luwak liar. Salah satu penyebabnya, di samping stress, luwak di kandang sudah menjadikan kopi sebagai makanan utama. padahal sebenarnya, kopi bagi Luwak hanyalah camilan.
Tapi masalahnya, Luwak liar tidak bisa dikontrol dia makan kopi di mana dan buang hajat di mana, sehingga banyak kopi luwak tidak langsung ditemukan begitu Luwak membuang hajat. Tapi kadang baru ditemukan beberapa hari kemudian dan jamur sudah mencemari bijinya, sehingga merusak rasa (sebagaimana yang terjadi pada Kopi Perdu). Untuk meyiasati ini, di daerah binaannya, Rai mengembangkan apa yang disebut “nampan makan”. Jadi di setiap kebun Kopi, Rai mengajak petani membuat para-para yang setiap sore diisi biji kopi. Malam harinya luwak liar yang sudah tahu ada tempat itu akan datang ke sana memakan biji kopi. Dan biasanya, Luwak akan buang hajat di sekitar para-para itu saja, sehingga gampang memanennya dan sehingga jamur tidak sempat tumbuh.
Sejak itu Rai membeli luwak-luwak sakit, mengobatinya sampai sembuh dan melepaskannya ke alam liar. Kelompok tani yang dia bina membuat aturan ketat tentang larangan menangkap apalagi menembak Luwak.
Hasil kopi itu Luwak itu dibebaskan untuk dijual oleh petani kepada siapa saja. Dan Rai bekerja sama dengan beberapa travel wisata untuk membuat program wisata kopi. Dan umumnya petani itu menjual kopinya kepada para wisatawan itu. Dari penjualan itu rata-rata petani kopi binaan Rai mendapat keuntungan 200 ribu sehari.
Selebihnya mereka jual kepada Rai untuk diolah dan disajikan di kedai kopi “Kopi Kultur” seperti yang disebut JRX di dalam twitter-nya.
“Karena langsung dari petani inilah, kenapa Kopi Kultur bisa menjual Kopi Luwak dengan harga sangat murah”, Katanya.
Ya harga secangkir Kopi Luwak di Kopi Kultur memang sangat murah, hanya Rp.98.000- per cangkirnya.
*Penikmat Kopi, tinggal di Bali

Post a Comment

0 Comments