KOMPAS/SARIE FEBRIANEGayo Cafe di Mal Puri Indah, Jakarta, menyajikan Bergendaal Koffie, salah satu kopi gayo dari usaha lokal di Aceh.
Oleh Defri Werdiono dan Sarie Febriane
Kopi aceh, siapa yang tak kenal kenikmatannya? Namun, di balik popularitasnya itu, persoalan identitas mengendap bersama ampasnya.
Kopi aceh yang kita kenal memang tersohor di kalangan penikmat kopi. Baik Ulee Kareng maupun Aceh Gayo. Setiap berkunjung ke Aceh, tak tenang rasanya jika tak sempat ngopi di kedai dan membawa kopi sebagai buah tangan. Ada ketenteraman tersendiri jika membawa kopi langsung dari Aceh.
Di Jakarta, kopi aceh sebenarnya tak terlalu sulit dicari. Di berbagai kedai kopi lokal yang menjamur beberapa tahun belakangan ini kita bisa menjumpai racikan minuman kopi aceh. Beberapa kedai mendatangkan sendiri biji-biji kopi (green beans) dari Aceh untuk kemudian disangrai. Namun, ada pula yang mendatangkan kopi yang sudah siap konsumsi yang diolah oleh pebisnis lokal di Aceh. Salah satu contohnya adalah Gayo Café di Mal Puri Indah, Jakarta.
Gayo Cafe berlokasi di Lantai 2, dekat bioskop XXI, Mal Puri Indah. Kedai kopi milik Faras Hidayati, yang asal Aceh, ini sebenarnya sudah berdiri sejak 2003. ”Ketika itu semangat kami ingin memperkenalkan kopi aceh, khususnya kopi gayo, bagi penikmat kopi di Jakarta,” ungkap Mansyurifain, Manajer Gayo Café.
Gayo Café menyajikan aneka racikan minuman kopi berbasis kopi arabika dari merek lokal Aceh bernama Bargendaal Koffie. Kopi aceh Bargendaal asal dataran tinggi Gayo ini cukup tersohor kenikmatannya. Kopi gayo arabika di pasaran dunia tergolong sebagai kopi premium. Kondisi geografis di dataran tinggi Gayo, sekitar 1.200 meter di atas permukaan laut, kualitas tanahnya yang dipengaruhi pegunungan berapi serta iklim setempat membuat cita rasa kopi gayo amat khas. Sekitar 90 persen perkebunan kopi di sana pun masih menggunakan cara bertani organik.
Kopi gayo pun dikenang dengan cita rasanya yang rendah asam, ”tebal”, beraroma kuat, dan jejak rasa kecokelatan. Begitu sedapnya kopi dari dataran tinggi Gayo ini lantas menjadikan nama Gayo berasosiasi dengan jaminan kenikmatan kopi. ”Yang sudah merasakan kopi gayo akan selalu ingin minum lagi,” kata Mansyurifain.
”Gayo” vs Gayo
Sekitar empat tahun lalu, sebuah perusahaan kopi berbasis di Belanda bernama Holland Coffee mematenkan nama Gayo dalam kopi dagangannya yang bernama Gayo Mountain Coffee. Apa akibatnya bagi kopi lokal Gayo sendiri? Alih-alih kopi gayo kian mendunia, petani dan usaha kopi lokal di Aceh malah tidak bisa lagi menggunakan nama Gayo dalam kopi produksi mereka. Jika melawan, mereka akan berisiko menanggung tuntutan hukum dari Holland Coffee.
George Willekes, pemilik Holland Coffee, dalam wawancara dengan The Sydney Morning Herald pada 16 Februari 2008 mengatakan, pihaknya telah mengenalkan kopi gayo ke penjuru dunia dan telah menjadikannya trademark. Oleh karena itu, pihak mana pun di dunia ini tidak dapat menggunakan merek dagang Gayo. Lagi pula, menurut Willekes, nama Gayo tidak harus terkait pada suatu area, namun terkait kualitas kopi. Menurutnya, jika siapa pun dapat menggunakan nama Gayo, hal itu malah akan merusak citra kualitas premium dari kopi gayo dagangannya.
Tentu saja hal ini membuat perlawanan dari masyarakat Gayo. Masyarakat Perlindungan Kopi Gayo (MPKG) dan pemerintah setempat pun bergerak. Hingga akhirnya pada 27 Mei 2010 kopi gayo memperoleh Sertifikasi Indikasi Geografis (SIG) yang diserahkan oleh Kementerian Hukum dan HAM. Perlindungan Indikasi Geografis (Protected Geographical Indication/PGI) adalah suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang yang karena faktor lingkungan geografis, termasuk faktor alam, faktor manusia, atau kombinasi dari kedua faktor tersebut, memberikan ciri dan kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan.
Di negara-negara Eropa, PGI diberlakukan pada komoditas seperti keju, wine, sosis, hingga bir. SIG mencerminkan sebuah sistem, bersifat hak kolektif, yang merupakan hubungan antara produk, produsen, dan kawasan produksi. Di Indonesia, selain kopi gayo, kopi kintamani dari Bali juga telah memperoleh sertifikat Indikasi Geografis. ”Keterangan Indikasi Geografis tersebut juga sengaja kami pampang di (salah satu sisi dinding) kafe ini sebagai sosialisasi,” ungkap Mansyurifain.
Ulee Kareng
Selain kopi gayo, kopi ulee kareng juga menjadi ikon kenikmatan kopi aceh. Jika kita bertandang ke Banda Aceh, salah satu kedai yang tersohor menyajikan Ulee Kareng adalah warung kopi yang telah berdiri sejak tahun 1974, yakni Jasa Ayah-Solong Coffee di Jalan T Iskandar Muda 13-14, Ulee Kareng, Banda Aceh. Aneka racikan kopi yang tersedia di antaranya adalah sanger, yakni kopi susu, kopi sareng, dan kopi hitam.
Pemilik kedai, Agam Syarifuddin (42), menuturkan, biji kopi robusta diperolehnya dari petani kopi di Aceh. Biji-biji kopi tersebut kemudian disimpan terlebih dahulu selama lebih kurang empat bulan supaya kadar asam dan airnya berkurang. Setelah masa simpan itu, kopi lantas disangrai dengan bara. Lama penyangraian secara tradisional itu membutuhkan waktu hingga tiga jam.
Salah satu pesona penyajian kopi Ulee Kareng ini adalah atraksi metode penyeduhan oleh para baristanya, yang dapat disaksikan para pengunjung kedai. Di sudut belakang kedai itu kita dapat menyaksikan orang yang sibuk memasak kopi lalu menyaringnya dengan kain saringan menyerupai jaringan ikan. Saringan tersebut diangkat tinggi-tinggi sehingga cairan kopi yang menetes dari ujung penyaring akan tertampung dalam gelas hingga mengeluarkan buih berwarna karamel keemasan. ”Rasanya akan berbeda jika diseduh biasa,” kata Agam.
Kopi memang tak sekadar komoditas. Sejak berupa tanaman, pengolahan, hingga tersaji di cangkir kita, tersimpan jejak identitas bersamanya. Mari kita seruput nikmatnya mmmm….
Sumber :
Kompas Cetak
0 Comments