KEHANGATAN CERITA DI BALIK SECANGKIR KOPI ACEH

KEHANGATAN CERITA DI BALIK SECANGKIR KOPI ACEH
Orang Aceh punya tradisi minum kopi yang berbeda dengan masyarakat Indonesia lainnya.

Kota 1.001 Warung Kopi. Julukan spe - sial itu disematkan pada ibu kota Pro - vinsi Nanggroe Aceh Darussalam lantaran di setiap titiknya bertebaran kedai-kedai kopi. Warga setempat sangat menghargai hasil kebun ko - pinya. Tak heran jika di Bandara Sultan Iskandar Muda pun yang ada adalah warung kopi lokal, bukan gerai kopi waralaba asing.

Seorang anak di Aceh akan mengenal kopi sedini mungkin. Ia biasa diajak ke warung kopi oleh orang tuanya. Paling tidak, sesendok kecil kopi sudah mereka cicipi di usia belia. \"Kelak, di usia SMA, anak- anak itu akan meneruskan kebiasaan keluarganya untuk ngopidi warung kopi,\" ujar Muhammad Nur yang lima tahun terakhir sukses membesarkan kedai kopi Rumoh Aceh di Banda Aceh.

Bagi warga Aceh, ngopiidentik dengan suasana ramah-tamah. Minum kopi di warung kopi merupa - kan kesempatan untuk bersilaturahim sambil me - ngobrolkan beragam tema yang spontan tercetus.
\"Selain itu, orang juga suka menyeruput kopi ketika membicarakan bisnis bersama mitra dan klien,\" kata Nur yang berhasil memasarkan kopi aceh ke mancanegara.

Ketika menyambangi Aceh, lanjut Nur, orang tak memikirkan soal makanan. Hal pertama yang terlintas di benak wisatawan justru kopi. "Belum sampai di Aceh, orang sudah bertanya akan ngopidi mana nantinya." ujar Nur.

Warga Aceh punya tempat ngopimasing-masing.

Bukan suku, ras, ataupun agama yang menjadi latar belakang mereka memilih tempat menyeruput kopi.

"Suasana di warung kopi sarat dengan keramah - tamahan, semua bisa berbaur tanpa memandang latar belakang etnis ataupun agama." kata Nur.

Kopi `sanger\'
Setelah warung kopi tumbuh menjamur dengan beragam fasilitasnya, pencinta kopi tersegmentasi sesuai dengan isi kantongnya. Mahasiswa biasanya mencari kedai kopi yang sambungan internet nir ka - belnya lancar dan harga kopinya terjangkau. Tem patnya tak mesti berpendingin ruangan. \"Warung kopi yang paling ramai terletak di kawasan Lam pineung,\" ujar Syahrul, pemuda Aceh yang tergabung dalam Komunitas Scooter Kutaraja Club seraya menunjuk arah Kedai Kopi Solong yang pada Selasa (20/10) silam bangkunya terisi penuh di pukul 21.00 WIB.

Minuman kopi apa yang paling digemari? Keba nyak - an orang akan menyebut sanger. Minuman kopi yang bisa disajikan hangat ataupun dingin ini bisa di nik mati sesuka hati penggemarnya, tanpa ada patokan waktu.
Sanger konon berasal dari frasa \"sama-sama ngerti\".

Para mahasiswa berkantong pas-pasan memopu - ler kan istilah sanger sebagai kode kepada penjual ko - pi untuk membuatkan minuman yang tidak terlalu ken - tal rasa kopinya, namun tak pula terlampau manis su - su. Secangkir sanger bisa dinikmati sekitar Rp 8.000.

Menyadari sanger telah menjadi budaya khas Aceh, sejumlah pemuda setempat tahun lalu mendedikasikan tanggal 12 Oktober sebagai Hari Sanger. Hari itu bertepatan dengan penyelenggaraan Festival Kopi Aceh 2014. Sanger terbuat dari serbuk kopi yang diseduh dengan air panas lalu disaring hingga berbusa, seperti penyiapan teh tarik.

Campuran susu dan gula atau susu kental manislah yang menjadikannya sanger.
\"Tiap pengusaha memiliki racikan tersendiri yang biasanya berasal dari resep turun-temurun dan cita rasa itulah yang menjadi daya tarik kedai kopinya,\"

jelas Nur. Kopi 3 in 1itu juga tersedia dalam kemasan sachet.
Ada sejumlah pabrik kopi lokal yang memproduksi sanger instan. (ed:nina chairani)

Kopi Aceh Tulen

Di tengah popularitas sanger, Nur mencoba mengenalkan kembali kopi asli aceh. \"Yang namanya kopi pasti hitam dan itulah kopi orisinal Aceh,\" ucapnya. Lewat kopi arabika dan luwak organik Rumoh Aceh yangtelah dipasarkan ke Kanada, Finlandia, Cina, dan Amerika Serikat, Nur menunjukkan nikmatnya kopi aceh tulen.

Di Rumoh Aceh, Nur menawarkan kopi kualitas nomor satu. Biji kopinya telah melewati tiga kali proses pemilahan. \"Saya ingin kopi yang kualitas ekspor itu bisa dinikmati utamanya oleh masyarakat Indonesia,\" ungkap Nur yang ditemui Republikadi sela pengambilan gambar program TV Idenesiayang dipandu oleh Yovie Widianto. Satu pak 250 gr kopi luwak organik dijual seharga Rp 300 ribu dan bubuk kopi arabika dengan ukuran yang sama dibanderol Rp 75 ribu.

Sementara itu, penggemar kopi berkafein rendah biasanya lebih mantap mengincar biji kopi yang telah difermentasikan selama lima tahun.

Harganya Rp 1 juta untuk 250 gram arabika organik. Aroma dan cita rasa kopi akan berubah kalau sudah berjamur. Nur pun mendorong petani kopi arabika organik di dataran tinggi Gayo untuk tidak menyimpan buah merah kopinya. Petani di perkebunan miliknya itu harus langsung menjemur buah kopi dan segera mengolahnya menjadi gabah. \"Kalau musim hujan, buah kopi harus dijemur dua kali dan dibantu pengeringannya dengan oven.\"

Setelah berupa bubuk, kopi di Rumoh Aceh akan diolah sesuai standar internasional. Kopi tradisional Aceh yang telah diberi campuran telur, susu, dan cokelat dengan takaran yang sesuai dengan resep keluarga sejatinya sudah lari dari konsep kopi.

\"Di Aceh, kebanyak an kedai kopi merupakan warung kopi tradisional seperti itu,\" jelas Nur.
Padahal, ketika coffee cupping, peminat kopi dari mancanegara tidak menyukainya. Mereka mencari rasa asli kopi aceh, murni tanpa tambahan apa pun. Kalaupun ada yang meng - ingin kan latte atau cappuccino, takar - an susu dan buihnya akan mengikuti perimbangan standar internasional.

Gula, bubuk kayu manis, ataupun cokelat diberikan secara terpisah agar pembeli dapat menambahkan sesuai seleranya.

Nur juga menghidupkan kembali tradisi masa lalu masyarakat Aceh saat pergi minum kopi. Begitu masuk ke kedai kopi, pengunjung men da - patkan senyuman ramah dan sa paan salam Islami, \"Assalamualaikum\".

Akan tetapi, jangan heran jika di waktu azan Maghrib berkumandang, Anda tak akan menemui satu pun pe - la yan. Pengunjung kedai mesti ber sa - bar hingga pelayan selesai menu nai - kan ibadah shalat Maghrib. Dulu, se - lepas azan Maghrib, di kedai kopi di - putar murotal. Tradisi itu luntur di banyak warung kopi di Aceh dan kini kembali bisa dirasakan di Rumoh Aceh. \"Orang berwisata ke Rumoh Aceh tidak mencari live musicseperti di kafe-kafe, tetapi ingin merasakan yang benar-benar khas Aceh,\" kata Nur.

Post a Comment

0 Comments