Mengenal Gelombang Pergerakan Kopi

Judul di atas mungkin terdengar janggal. Gelombang pergerakan? Ya, selain sebagai minuman, kopi juga merupakan pergerakan (movement) yang terbagi dalam gelombang-gelombang (waves). Adalah Trish Rothgeb yang mencetuskan konsep gelombang pergerakan ini. Melalui konsep gelombang pergerakan ini kita dapat melakukan pendekatan yang lebih dalam terhadap kopi dibanding sebelumnya. Dan ada kalanya membedakan masing-masing pendekatan yang digunakan membantu kita dalam upaya memahami budaya ngopi serta perjalanan historisnya.
Gelombang Pertama
Gelombang pertama ini merupakan hentakan awal kopi di abad ke-19, dengan puncaknya di Amerika Utara pasca-Perang Dunia II ketika kopi instan seperti Folgers membanjiri pasar. Pada masa ini, alih-alih dinikmati, kopi hanya sekadar dikonsumsi.
Nampaknya, prioritas gelombang ini hanyalah untuk meningkatkan konsumsi kopi sebanyak-banyaknya. Pada masa inilah kopi instan diciptakan dan dipasarkan secara massal sehingga harganya dapat ditekan serendah-rendahnya, tanpa banyak perhatian terhadap kualitas. Kasarnya, pada gelombang pertama ini resepnya sederhana saja: beli biji kopi dengan harga murah, sangrai hingga tingkat medium, giling, lalu distribusikan.
Gelombang Kedua
Gelombang ke-2 merupakan proliferasi kopi yang dimulai pada 1960-an. Gelombang ke-2 ditandai dengan maraknya kedai kopi seperti Starbucks! Ya, Starbucks dapat dikatakan sebagai salah satu ikongelombang ke-2. Starbucks dikenal dengan gaya sangraian dark-nya, memperkenalkan kopi spesialti dengan kualitas yang lebih baik, dan menambahkan istilah-istilah seperti “latte” dan “cappucinno” ke dalam kosa kata konsumen. Sangraian dark ini menghasilkanbody yang penuh, membedakan kopi gelombang ke-2 dari gelombang pertama yang asam dengan body yang tipis hasil sangraian medium-nya.
Pada gelombang ke-2, berbagai minuman espresso mulai dikenal dunia, seiring dengan peningkatan mutu kopi secara keseluruhan, dan spesies kopi robusta (yang umumnya digunakan utuk kopi instan) ditinggalkan dan digantikan oleh kopi arabika (yang dianggap memiliki kualitas lebih baik). Pada gelombang ini kopi mulai dinikmati, bukan sekadar dikonsumsi.
Gelombang Ketiga
Di  dua gelombang sebelumnya,kopi dihargai hanya sebatas pada kandungan kafeinnya, sebagai minuman teman ngobrol, untuk ditambahi gula, krim, susu, dsb. Pada gelombang ke-3, selain dinikmati, kopi juga dihargai apa adanya. Membandingkan gelombang ke-3 dengan gelombang ke-2 adalah seperti membandingkan Starbucks dengan Folgers. Bila berbicara brand dari gelombang ke-3, sebut saja Intellegentsia, Counter Culture, dan Stumptown.
Kopi adalah tanaman pangan seperti anggur yang memiliki karakteristik berbeda-beda bergantung pada berbagai variabel. Jika Anda membeli wine, yang anda perhatikan bukan hanya jenis anggurnya, namun juga perkebunannya, kilangnya, tahun produksinya, dsb. Karena perkebunan yang sama bisa menghasilkan wine yang berbeda dari tahun ke tahun. Apresiasi semacam ini pulalah yang menjadi cita-cita gelombang ke-3. Ketika kita membeli kopi, kita ingin mengetahui tanggal sangrainya, derajat sangrainya, perkebunan kopinya, dan bukan sekadar dari negara mana kopi tersebut berasal. Mem-blend dan menyangrai kopi untuk menghasilkan profil rasa yang sama sepanjang tahun, dari tahun ke tahun, adalah perspektif gelombang ke-2. Pada gelombang ke-3, tiap jenis kopi adalah seperti palet bagi seorang pelukis. Kita tidak memaksa kopi tersebut menjadi seperti apa yang kita inginkan, melainkan justru mempelajari bagaimana caranya menghasilkan karya terbaik dengan palet tersebut.
Penanda lain dari gelombang ke-3 adalah preferensi terhadap derajat sangrai yang cenderunglight, berbeda dengan gaya sangraian dark yang dipopulerkan oleh Starbucks. Alasan dari derajat sangrai yang lebih light ini adalah untuk mengeluarkan berbagai karakter rasa dari jenis kopi yang berbeda-beda tadi.
Gelombang-gelombang pergerakan ini tentunya kadang beririsan satu sama lain, dan gelombang yang satu akan memengaruhi gelombang berikutnya. Sekarang kita mungkin sedang berada di gerbang gelombang ke-4, atau di masa transisi dari gelombang ke-3 menuju gelombang ke-4. Dikatakan bahwa gelombang ke-4 ini memberikan penekanan pada praktek direct trading yang sudah mulai dirintis sejak gelombang ke-3, serta transparansi melalui komunikasi antara seluruh pihak yang terkait di sepanjang mata rantainya, mulai dari petani sampai konsumen, dengan harapan kemajuan untuk keseluruhan industri kopi itu sendiri.
Kira-kira demikianlah gelombang pergerakan kopi yang ada. Apa yang terjadi di Indonesia mungkin tidak persis sama, namun uraian di atas menggambarkan apa yang terjadi secara umum di dunia. Jelas bahwa kopi juga memiliki sejarah yang panjang dengan cerita yang menarik untuk disimak dan kemungkinan tak berhingga di hadapannya. Mari kita lihat saja, ke mana lagi kopi akan membawa kita, sambil tetap menikmati setiap hirupan aromanya, serta setiap lapis rasa yang muncul mengemuka di setiap teguk sampai tetes terakhirnya.
Sumber : bincangkopi.com

Post a Comment

0 Comments